Senin, 02 Januari 2012

MELIHAT TARSIUS DI CAGAR ALAM TANGKOKO

Hutan suaka alam di kawasan Tangkoko seluas 3.196 hektar merupakan cagar alam dan suaka marga satwa. Tempat pelestarian berbagai jenis satwa liar antara lain lutung, burung maleo, anoa, ular kuskus serta binatang langka Tarsius Specktrum.

Pada awal abad ini, menurut laporan Prof. Dr. J. Hendrik Van Balen, tarsius terdapat di Kalimantan, Bengkulu, Bangka dan Belitung. Di kawasan Bangka namanya tarsius bancanus, sedangakan yang hidup di Tangkoko karena belum diberi nama species  maka dinamakan tarsius spectrun. Dalam bahasa Inggris binatang ini disebut tarsier spectral. Sedangkan di dalam bahasa Indonesia ada yang menamakan Ingkir.
Tarsius adalah salah satu satwa langka yang terancam punah dan kini termasuk binatang yang dilindungi. Bentuknya seperti seekor kera yang sangat kecil dan masuk dalam golongan satwa mamalia yang merupakan primata terkecil di dunia.
Berukuran tinggi hanya kurang lebih 10 cm atau sebesar kepalan tangan manusia. Ekornya panjang sekitar 20 cm dengan berat berkisar 300 gram. Kedua matanya menghadap ke muka, berukuran bulat besar seperti mata burung hantu.
Penglihatannya tajam dan matanya biasa terbelalak mengincar mangsa dalam gelap gulita. Walaupun satwa ini berukuran kecil tapi secara proporsional memiliki kepala, mata dan telinga besar. Sebaliknya hidungnya kecil sehingga mukanya tampak seperti rata.
Tarsius adalah binatang malam, baru keluar dari sarangnya pada petang hari. Maka untuk dapat melihat satwa langka itu kami perlu berkelana di dalam hutan belukar pada malam hari.
Daya cium tarsius agak lemah tapi pendengarannya cepat mendengar getaran bunyi suara. Lehernya lentur sekali dan kepalanya dapat  berputar hampir 180 derajat.
Gerakannya lemah gemulai namun sangat gesit. Untuk menerkam magsa dia dapat melompat dengan gerakan akrobatik sejauh 5 meter. Buruannya adalah serangga, cicak, cacing, kodok, telur, buah bahkan burung kecil yang sedang terbang dalam kegelapan malam hari.
Cengkeraman tangannya sangat kuat, dan giginya tajam bagaikan pisau cukur sehingga dapat merobek-robek mangsa yang ditangkapnya di udara.
Sifat satwa ini selalu monogami. Biasa tinggal menetap dalam sebuah lubang yang dibuatnya pada sebuah pohon tinggi untuk dihuni suami istri bersama anaknya.
Pohon ini merupakan teritorial masing-masing, biasanya ditandai dan dibatasi dengan air seni mereka. Dengan demikian tarsius lainnya tidak akan menaiki pohon tersebut.
Anak tarsius biasa dibawa oleh induknya dengan cara digigit seperti cara seekor induk kucing membawa anaknya. Saat induknya berburu mangsa bayi tarsius biasa diletakkan pada sebatang pohon. Anak tarsius ini bertumbuh dengan cepat dan waktu berumur sebulan sudah mulai belajar meloncat. Beberapa bulan kemudian sudah dapat bergerak bebas sendiri tapi masih kembali ke sarang ibunya.
   
Wana wisata
Bila pengunjung ingin menyaksikan tarsius di tempat ini, mereka akan diantar seorang petugas melalui jalan mendaki bukit hutan belukar. Biasanya ratusan ekor lutung  atau kera hitam akan mengawasi gerak-gerik pengunjung.
Dengan membawa lampu senter pengunjung berjalan kaki menuju sebuah pohon besar yang telah dikenal penjaga hutan sebagai habitat tarsius.
Inilah yang dinamakan ‘rumah’nya tarsius. Pengunjung dapat mengintai dengan menggunakan lampu senter,  dan tampak kedua mata tarsius terbelalak besar mengawasi corong sinar lampu senter. Sesaat kemudian tarsius tersebut meloncat secepat kilat dan menghilang dalam kegelapan.
Melihat tarsius di malam hari sungguh menyenangkan. Bagi yang merenungkan tentu akan berpikir, betapa agungnya ciptaan Tuhan yang berserakan di muka bumi, termasuk tarsius si binatang kecil yang mengagumkan ini. Keberadaannya melengkapi kekayaan flora dan fauna, sejumlah obyek wisata dan sejarah serta popularitas Bunaken di Sulawesi Utara.
Menyadari bahwa hutan dan seluruh isinya merupakan karunia Tuhan yang Maha Esa, kiranya konsep pariwisata berwawasan lingkungan (ekoturisme) dapat dikembangkan di provinsi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar